Pudarnya Kearifan Dana Desa

Bagikan:

Oleh Trisno Yulianto

Kebijakan baru pemerintah mengalokasikan anggaran khusus untuk desa disambut positif pelbagai kalangan. Betapapun cukup banyak kritik atau kekhawatiran dialamatkan pada kebijakan tersebut, tampaknya hampir tak ada yang memperhitungkan implikasi serius dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa itu. Dalam hal ini kebudayaan, khususnya tradisi dan kearifan adat.

Implikasinya adalah cenderung melemahnya implementasi moral dan nilai tradisi dalam pelaksanaan kerja pimpinan desa. Merosotnya kearifan lokal ini berdampak negatif pada kebudayaan masyarakat desa setempat. Materi produk regulasi tentang desa memang secara definitif menghormati hak asal-usul kewenangan desa atau eksistensi desa adat. Namun dalam pelaksanaan, desa tereduksi ke dalam pelbagai proyek birokrasi ”pembangunan”. Orientasi pemimpinnya pada dana anggaran.

Muncul banyak desa, terutama di Jawa, yang selama ini bertumpu pada norma dan nilai dasar, seperti kegotongroyongan, kini sekonyong berubah menjadi desa ”modern”. Hidup dan tumpuannya diarahkan pada persoalan-persoalan administrasi proyek dan pelaporan keuangan dari dana desa. Desa di Jawa diguyur anggaran besar dan ditundukkan dalam beragam aturan politis. Dari mulai aturan penggunaan anggaran yang sistem dan mekanismenya tidak lagi mengindahkan kebiasaan dan hak masyarakat desa. Desa, mungkin, tambah kaya dana, tetapi fakir dalam varian kebudayaan.

Konflik sosial

Dalam penerapannya dua tahun terakhir, program Dana Desa memantik konflik sosial. Dalam konflik baru ini sang pamong kuasa, kepala desa dan aparatur pemerintah desa, terposisikan menjadi lawan politik masyarakat desa. Posisi berlawanan itu dipicu tergiurnya para pamong (meniru kaum elite di atasnya) melakukan korupsi anggaran. Belum lagi kesemena-menaan dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan desa.

Proses yang selama ini selalu melibatkan masyarakat desa secara partisipatorik berubah menjadi kesewenangan para pamong. Masyarakat desa secara langsung ditempatkan sebagai obyek dari interest konspiratif pada pemimpinnya.

Desa pun terlanda virus teknokratisme. Desa dijadikan obyek segala macam regulasi yang mengatur dan mengikat atas nama perlindungan hak otonomi desa. Desa dikendalikan pelaksanaan (politik) pemerintahan yang mengacu pada asas tertib administrasi. Desa akhirnya juga sibuk secara politis, kehilangan marwah sebagai entitas budaya, apalagi artistik.

Budaya politik model kekuasaan yang korup dan anti partisipasi pun berkembang di desa. Desa di Jawa dan desa adat diluar Jawa yang dikenal sebagai ruang persemaian kebudayaan tradisi yang menjunjung nilai adiluhung berubah menjadi desa yang dipaksa berlabel kemajuan berjenjang: swadaya, swasembada, dan puncaknya Desa Mandiri. Indikatornya ditentukan logika berpikir pemerintah pusat.

Tergerusnya akar kebudayaan desa tampak sangat jelas dalam agenda musyawarah desa. Musyawarah desa di masa lampau diselenggarakan dalam semangat kebersamaan, egalitarian, dan mencerminkan permufakatan konstruktif. Kini berubah jadi agenda kerja yang tereduksi sekadar membahas rencana proyek dan anggaran.

Runtuhnya budaya

Dampak teknokratis semacam ini menjadi cermin kian runtuhnya kekuatan budaya bangsa kita, yang antara lain ditandai oleh rembuk desa, rasa guyub, dan kegotongroyongan. Kendali, sistem, mekanisme, dan kegiatan kerja pembangunan ataupun musyawarah desa ditangan elite birokrasi desa. Idiom pemerintah desa, khususnya kepala desa, yang selama ini dikenal sebagai ”sang pamomong” (pengasuh) berganti menjadi stakeholder (pemangku kepentingan), istilah modern yang berbeda makna.

Ukuran kerja pemerintahan desa adalah pada prosedur standar operasi pelayanan administrasi, kualitas pelaporan administrasi keuangan (SPJ), dan kedisiplinan masuk kantor. Kelirukah hal itu? Mungkin tidak dalam kacamata politik teknokratis dan birokratisasi. Namun sangat tragis ketika peran budaya bahkan eksistensi masyarakat desa terabaikan. Masyarakat desa dalam era kekinian seolah menjadi komunitas penerima manfaat proyek pembangunan dan kucuran anggaran yang dikemas sebagai bentuk ”kebaikan” pemerintah.

Teknokratisme desa di Jawa tampak jelas pula dalam implementasi dana desa di mana masyarakat ditempatkan sebagai ”penonton” pasif. Desa dikelola pemerintah desa dan dibantu para pendamping ahli, hal baru yang diberi julukan tenaga ahli pemberdayaan, tenaga ahli pembangunan, tenaga ahli infrastruktur, dan sebagainya. Maka, selain ”dipenontonkan”, masyarakat desa pun ”dibodohkan” dalam semua urusan ”ahli” tersebut.

Penegasan hak asal-usul desa—terminologi substantif Desa di Jawa sejak abad ke-19—direvaluasi sebagai hak pengelolaan tanah bengkok oleh kepala desa dan perangkat desa. Bengkok adalah cermin warisan politik feodal yang mengabaikan hak masyarakat atas tanah desa. Hak asal-usul desa juga tecermin dalam pelaksanaan pilkades yang sekarang penuh dengan hasrat politik uang.

Jelaslah jika kemudian semakin terpinggirkan bahkan kadang dianggap sebagai gangguan. Tidak ada alokasi penganggaran dan program untuk membangkitkan ”artefak” kebudayaan yang hampir punah. Tidak ada program pelestarian seni tradisi dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).

Perlu diambil kebijakan keras dan baru untuk juga mengintegrasikan hak masyarakat lokal dengan perspektif kebudayaan. Masyarakat desa harus dijadikan aktor dalam pembangunan desa dan pengembangan kebudayaan tradisi. Di situ manusia tetap terjamin sebagai subyek utama, bukan obyek eksploitasi.

“Desa, mungkin, tambah kaya dana, tetapi fakir dalam varian kebudayaan” ***

*TRISNO YULIANTO
Pengelola Gubug Kata Magetan

KOMPAS edisi Senin 3 April 2017
Halaman: 12

Bagikan: